Menyuarakan Adat dan Budaya Iban Melalui Film dan Konten

InspirasiKalbar, Pontianak_ Kisah masyarakat adat Iban dari pedalaman Kalimantan Barat semakin banyak disuarakan melalui karya anak mudanya.
Sutradara muda Kynan Tegar dan kreator konten Paskalia Wandira hadir membagikan pengalaman mereka dalam forum Kolase Jurnalis Camp 2025, sebuah ajang silaturahmi sekaligus ruang diskusi untuk merumuskan peran media dan jurnalisme dalam menjaga lingkungan serta keberagaman hayati.
Kynan Tegar
Kynan Tegar, sutradara film dokumenter Indai Apai Darah dan Earth Defender, mengungkapkan bahwa motivasi awal dirinya membuat film adalah kebutuhan untuk melihat masyarakatnya sendiri hadir di layar.
“Saya sejak kecil banyak menonton TV, tapi tidak pernah melihat orang-orang Iban muncul di sana. Tidak ada representasi tentang kami, tentang kehidupan nyata keluarga dan masyarakat adat. Karena itu saya mulai membuat film, agar cerita-cerita kami bisa disampaikan dari perspektif kami sendiri,” kata Kynan dalam diskusi nonton film bareng dalam kegiatan Kolase Jurnalis Camp 2025 di Pontianak, Jumat malam.
Menurutnya, masyarakat adat bukan sekadar konsep atau imajinasi, melainkan komunitas nyata dengan ikatan keluarga, tradisi, dan filosofi hidup yang selaras dengan alam.
“Menjadi masyarakat adat bukan karena kami tidak punya sinyal atau listrik. Bukan itu yang mendefinisikan kami. Yang penting adalah bagaimana hubungan timbal balik dengan alam tetap dijaga,” tegasnya.
Paskalia Wandira
Sementara itu, Paskalia Wandira, kreator konten asal Kapuas Hulu, memilih media sosial Instagram sebagai ruang untuk memperkenalkan budaya Dayak Iban. Ia memulai sejak 2019 melalui YouTube sebelum akhirnya beralih ke Instagram karena lebih dekat dengan generasi muda.
“Tujuan saya membuat konten adalah agar orang tahu keseharian masyarakat Iban, budaya, dan tradisi kami. Saya juga ingin anak-anak muda sadar bahwa kita punya kekayaan budaya yang harus dilestarikan, bukan ditinggalkan,” ujar Paskalia.
Ia mencontohkan tradisi tenun di kampungnya, Kaposuru, yang sarat makna. Motif-motif kain tenun Iban lahir dari imajinasi perempuan desa yang terinspirasi oleh alam, hewan, hingga fenomena cuaca. Proses pewarnaannya pun masih mengandalkan bahan alami dari hutan sekitar.
Meski begitu, Paskalia harus menghadapi keterbatasan infrastruktur.
“Di kampung saya tidak ada sinyal internet. Kalau mau unggah konten, saya harus jalan jauh keluar kampung untuk cari sinyal. Kadang konten baru bisa terunggah seminggu kemudian,” katanya.
Diskusi dipandu oleh Partnership Manager Ashoka, Cornila Desyana, yang menilai pengalaman Kynan dan Paskalia sebagai inspirasi bagi generasi muda lain.
“Cerita mereka menunjukkan bahwa menjaga budaya dan lingkungan bisa dilakukan dengan cara kreatif melalui film dan media sosial,” ujarnya.
Daeng Rizal
Jurnalis senior, Daeng Rizal, turut memberikan perspektif. Ia menilai karya anak muda Iban menjadi bukti bahwa generasi kini bisa memanfaatkan pendekatan digital untuk menyuarakan isu-isu penting.
“Saya melihat mereka sangat bangga dengan identitasnya. Filosofi hidup masyarakat Iban, bahwa sungai adalah darah, tanah adalah daging, udara adalah napas, dan hutan adalah ibu, itu menjadi landasan kuat yang sekarang dibawa ke publik melalui media digital. Ini yang kurang kita temukan di kota,” kata Daeng.
Ia mengingatkan bahwa isu lingkungan kerap sensitif dan sarat tekanan, baik pada masa lalu maupun sekarang.
“Dulu jurnalis menghadapi intimidasi fisik, sekarang tantangannya adalah bagaimana menghadapi branding positif perusahaan yang menutupi kerusakan lingkungan. Karena itu, jurnalis perlu berkolaborasi dan tidak bisa berjalan sendiri,” tambahnya.
Diskusi pun menyinggung keterkaitan antara ekologi dan nilai-nilai spiritualitas. Kynan menekankan pentingnya kesadaran kolektif menjaga keseimbangan dengan alam.
“Kalau kita mengambil sesuatu dari hutan, kita harus memberi balik. Krisis iklim hari ini adalah akibat dosa kita kepada alam. Itu pesan utama yang ingin saya sampaikan lewat film,” tuturnya.
Melalui Kolase Jurnalis Camp 2025, para peserta sepakat bahwa media, film, dan konten digital menjadi sarana penting untuk memperkuat kesadaran masyarakat akan isu lingkungan dan kearifan lokal. “Keragaman hayati adalah kekuatan kita bersama. Dan peran media, terutama yang digerakkan anak muda, menjadi kunci dalam menjaga warisan tersebut,” tutup Cornila.(Jga)