27/08/2025

Ironi Akun Media Sosial Pemda

FB_IMG_1755941408378

InspirasiKalbar,opini_Fenomena akun media sosial pemerintah daerah yang lebih sering menampilkan sosok pejabat ketimbang layanan warga, sesungguhnya sudah jadi cerita sehari-hari di negeri ini.

Setiap kali kita membuka akun resmi provinsi, kota, atau kabupaten, dan berharap menemukan jadwal layanan publik, pengumuman darurat, atau sekadar informasi ringan tentang program untuk rakyat, yang muncul justru wajah sang gubernur, lagi meresmikan sesuatu, tersenyum sambil melambaikan tangan, atau sedang berjalan gagah meninjau pasar di kawal gerombolan pria berkostum taktis.

Rasanya akun pemerintah yang seharusnya menjadi ruang informasi publik, berubah jadi panggung personal pejabat. Dan yang lebih ironis, semua itu di lakukan dengan bendera resmi pemerintah, bukan di akun pribadi sang pemimpin.

Di balik layar, ada dinamika yang membuat situasi ini menjadi rumit. Tim komunikasi yang sekarang mengelola akun bukan lagi staf humas provinsi yang paham alur pelayanan publik, melainkan mantan tim sukses sang gubernur.

Mantan timses ini terbiasa membangun narasi kampanye, bukan mengelola komunikasi publik. Maka tidak heran, logika yang di pakai masih logika kampanye, yang penting volume konten dan viral: siapa yang paling banyak muncul, siapa yang paling viral, siapa yang paling di sukai algoritma. Warga yang butuh informasi praktis tersingkir oleh obsesi membangun citra.

Humas lama, yang semula mengurus akun pemda itu, hanya bisa pasang wajah canggung. Mereka tahu ada yang salah, tetapi siapa berani protes, kalau semua di kendalikan langsung oleh lingkaran orang dekat gubernur, bupati, atau wali kota?

Komunikasi pemerintah seharusnya tidak berhenti pada sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mendengarkan balik suara publik, membangun interaksi timbal balik, dan menciptakan kebijakan yang lebih responsif.

Masalahnya, model yang sekarang sering dipakai justru komunikasi satu arah—bahkan cenderung propaganda gaya lama—di mana akun pemerintah jadi corong “prestasi” pejabat. Konten media sosial pemda berubah menjadi monolog panjang tentang betapa hebatnya pemimpin daerah.

Warga hanya jadi penonton pasif.

Kita bisa tertawa getir melihatnya, sebab pada akhirnya warga hanya jadi penonton pasif.

Dalam teori “Uses and Gratifications” di komunikasi massa, masyarakat di sebut sebagai audiens yang aktif: mereka memilih media sesuai kebutuhan. Kalau kebutuhan informasinya tidak di penuhi, mereka akan mencari ke tempat lain.

Jadi, ketika akun resmi pemerintah malah sibuk memajang pose pejabat, jangan kaget kalau warga lebih percaya akun komunitas RT, grup WhatsApp warga, atau bahkan akun gosip yang jauh lebih informatif.

Ada ironi di sini: akun resmi yang punya sumber daya dan legitimasi justru kalah relevan di banding akun warga biasa yang sekadar rajin berbagi info jadwal vaksin atau kabar listrik padam.

Kritiknya tidak berhenti di situ. Studi terbaru tentang komunikasi digital pemerintah di Indonesia menemukan bahwa sebagian besar konten media sosial pemerintah masih bersifat “information dissemination”—sekadar menyalurkan informasi—bukan “public engagement”.

Artinya, komunikasi digital masih dipahami sebagai papan pengumuman, bukan ruang percakapan. Padahal, riset di bidang komunikasi publik menegaskan bahwa keberhasilan komunikasi pemerintah di era digital di ukur dari seberapa kuat ia membangun partisipasi dan kepercayaan publik.

Ada istilah menarik yang di populerkan dalam literatur: “government social media engagement”. Bukan sekadar banyaknya unggahan, melainkan kualitas interaksi yang tercipta—apakah warga merasa didengar, apakah komentar di jawab, apakah kebijakan di terjemahkan dalam bahasa yang mudah dimengerti.

Citra personal bisa memangkas

Ketika akun resmi hanya menampilkan wajah gubernur, warga melihat ada jarak. Seolah-olah pemerintah lebih peduli pada citra individu ketimbang kebutuhan publik. Di sinilah letak bahayanya. Citra personal bisa memangkas kepercayaan institusi.

Pemerintahan daerah seharusnya hadir sebagai lembaga yang kolektif, bukan tubuh pejabat tertentu. Kalau semua berpusat pada sosok, maka ketika sosok itu lengser atau tersandung masalah, reputasi institusi ikut runtuh.

Komunikasi publik yang sehat seharusnya membangun legitimasi kelembagaan, bukan meminjam aura personal semata.

Saya memahami sisi manusiawi dari semua ini. Para pejabat, apalagi yang baru menjabat, wajar ingin di kenali. Mereka ingin masyarakat tahu bahwa mereka bekerja, mereka hadir, mereka peduli.

Masalahnya, niat baik itu sering berubah menjadi obsesi tampil. Kamera selalu siap merekam, tim selalu siap posting, dan setiap gerak di anggap layak jadi konten.

Saya teringat teori “Impression Management” dari Erving Goffman, yang menyebutkan bahwa dalam kehidupan sosial, manusia selalu berusaha mengelola kesan. Bedanya, jika Goffman bicara soal panggung sehari-hari, di era digital panggung itu meluas ke ruang publik virtual. Media sosial resmi pemerintah akhirnya ikut terseret menjadi alat manajemen kesan personal pejabat.

Bayangkan panggung itu dari perspektif warga biasa. Seorang ibu rumah tangga yang membuka akun provinsi bukan untuk melihat gaya gubernur, melainkan untuk tahu jadwal pasar murah. Seorang pemuda mencari info lowongan CPNS daerah, bukan pidato panjang yang di foto dari tujuh angle. Seorang bapak yang ingin tahu kapan jalan di desanya di perbaiki, malah mendapat postingan video slow motion gubernur meresmikan jembatan lain.

Bayangkan kekecewaan mereka ketika harapan tak terpenuhi. Lama-lama, warga berhenti mengandalkan akun resmi dan memilih jalur informasi alternatif.

Di sinilah kepercayaan publik bisa terkikis pelan-pelan, bukan karena kebijakan buruk, tapi karena komunikasi yang tidak relevan.

Apakah semua ini bisa di benahi?

Tentu bisa. Banyak penelitian menegaskan pentingnya transparansi dan partisipasi. Komunikasi publik modern menuntut pemerintah menghadirkan informasi yang di butuhkan, dengan bahasa yang sederhana, visual yang mudah di pahami, dan ruang interaksi yang memberi tempat bagi suara warga.

Studi di berbagai negara menunjukkan bahwa akun pemerintah yang sukses bukanlah akun dengan pejabat paling sering muncul, melainkan akun yang mampu menjadi jembatan antara kebijakan dan kebutuhan nyata. Sederhana saja: publik ingin informasi yang berguna, bukan sekadar potret.

Saya paham masalah ini tidak hanya teknis, tapi juga budaya. Kita hidup di sistem politik yang masih sangat pejabat-sentris. Tradisi paternalistik membuat pejabat di anggap pusat perhatian. Maka media sosial resmi pun di seret ke dalam orbit yang sama.

Humas yang merasa tidak nyaman akhirnya memilih diam, takut di anggap melawan arus. Padahal, tugas humas sejati justru memastikan suara publik tidak tenggelam.

Akun resmi pemerintah daerah kini seperti sinetron panjang: tiap episode ada gubernur tersenyum, tersenyum, dan tersenyum lagi. Padahal penonton sudah bosan dan ingin tahu kapan listrik nyala atau kapan beasiswa cair. Ironinya, semakin banyak senyum yang di tayangkan, semakin tipis senyum warga di dunia nyata.

Jadi mari kita bertanya: untuk siapa sebenarnya akun media sosial pemerintah daerah itu ada?

Kalau jawabannya untuk rakyat, maka rakyatlah yang harus jadi pusat konten. Kalau jawabannya untuk pejabat, maka jangan kaget kalau kepercayaan publik makin lama makin pudar.

Komunikasi publik hanya bisa berhasil bila ada kesediaan mendengar. Dan mendengar, dalam konteks digital, berarti memberi ruang, bukan sekadar menjejalkan wajah pejabat di layar.

Saya percaya, masih ada jalan untuk memperbaiki keadaan. Yang di butuhkan adalah keberanian kecil dari humas dan kesadaran besar dari pejabat.

Tampil di media sosial itu penting, tetapi lebih penting lagi memastikan warga merasa hadir dalam setiap postingan. Sebab pada akhirnya, akun resmi pemerintah bukanlah milik seorang gubernur, melainkan milik masyarakat yang setiap hari menggantungkan harapan di sana.

Kalau suatu saat nanti, ketika saya membuka akun resmi provinsi dan menemukan jadwal layanan kesehatan gratis di desa terpencil, atau informasi mitigasi bencana yang ringkas dan jelas, saya akan tersenyum lebih lebar daripada melihat foto pejabat berpose dengan gunting pita.

Sebab di situlah komunikasi publik bekerja sebagaimana mestinya: bukan panggung personal, tapi jembatan kepercayaan. (*)

Sumber : Wicaksono

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *