Pada perdagangan sebelumnya, rupiah di tutup di kisaran Rp16.729 per dolar AS di pasar spot. Kontrak Non Deliverable Forward (NDF) satu bulan juga menunjukkan pelemahan, bergerak di sekitar Rp16.760–Rp16.770 per dolar AS, menjadi sinyal bahwa tekanan pasar masih tinggi.
Di kutip dari Bloomberg Technoz melaporkan bahwa level teknikal rupiah kini berada di area kritis, di mana penembusan kisaran Rp16.740–Rp16.770 dapat membuka peluang menuju level Rp16.800 per dolar AS.
Faktor utama pelemahan rupiah
Salah satu faktor utama pelemahan berasal dari penguatan indeks dolar AS yang naik akibat ekspektasi pasar terhadap rilis data ketenagakerjaan Amerika Serikat. Analis Wells Fargo menilai data tersebut masih menjadi acuan penting bagi arah kebijakan moneter Federal Reserve, sehingga pasar cenderung meningkatkan permintaan dolar menjelang pengumuman resmi.
Dari sisi domestik, kekhawatiran investor terhadap posisi fiskal Indonesia juga turut menekan rupiah. Sejumlah analis global menyoroti meningkatnya kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dan kemungkinan tergerusnya imbal hasil surat utang negara akibat dinamika pasar. Dalam beberapa pekan terakhir, aliran modal asing ke pasar obligasi tercatat melambat.
Menanggapi kondisi ini, Gubernur BI Perry Warjiyo kembali menegaskan bahwa bank sentral akan menggunakan “semua instrumen secara berani” untuk menstabilkan rupiah. Intervensi di lakukan melalui pasar spot, DNDF, pembelian SBN di pasar sekunder, hingga intervensi valas di pasar luar negeri. BI juga memastikan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat, di topang inflasi rendah dan pertumbuhan konsumsi yang stabil.
Meski ada peluang teknikal bagi rupiah untuk menguat jika dolar melemah secara global, risiko koreksi masih lebih dominan dalam jangka pendek. Pelaku pasar di sarankan mencermati rilis data AS, arah kebijakan Fed, serta sinyal intervensi BI dalam beberapa hari ke depan, mengingat volatilitas nilai tukar di perkirakan masih tinggi.