Jum’at Terakhir di Bulan Sya’ban

CERPEN
(Karya: Wyaz Ibn Sinentang)
InspirasiKalbar, Cerpen- Pagi mendulang mendung. Jalanan sepi. Biasanya pada jam-jam seperti ini kendaraan sudah lalu lalang. Toko-toko di sepanjang Suprapto atau MT Haryono sudah berbenah, para karyawan saling menyibukkan diri mengambil hati majikan. Namun pagi ini nampaknya tak berlaku lantaran mendung menyelimuti Bumi Ale-Ale. Ojek motor yang kutumpangi melaju menuju Pangkalan Pasir, tempat mangkalnya longboat jurusan Sandai. Tujuan sebenarnya bukan Sandai, tapi Desa Pangkalan Teluk, tempat Kai’.
https://inspirasikalbar.com/harapan-ksbsi-kalbar-ada-solusi-memperjuangkan-hak-buruh/
Menyebut Pangkalan Teluk, mengingatkan masa kanak-kanak dahulu. Aku lahir di desa tersebut. Tembuniku juga ditanam di sana. Jadi memang betul kata orang-orang tua dulu, di mana tembuni ditanam suatu waktu kita pasti akan rindu untuk menemuinya. Banyak kenangan yang tak bisa terlupakan saat-saat itu. Terutama saat tumbuh beranjak menjadi bujang tanggung.
https://inspirasikalbar.com/ini-jadi-harapan-baru-pppk-paruh-waktu-pemkab-kayong-utara/
Suasana di Pangkalan Pasir masih sepi. Kulirik arloji, masih pukul delapan. Kepagian. Di tiket, jam keberangkatan pukul sembilan. Berarti masih satu jam aku harus menunggu keberangkatan. Tak mengapa. Cari sarapan dan minum kopi dulu di kedai yang berhadapan dengan pangkalan. Satu jam cukup untuk sarapan dan mengingat jalan menuju ke desa. Hitung-hitung mengaktifkan kembali memori.
https://inspirasikalbar.com/festival-pencak-silat-tanjungpura-dan-pelestrarian-budaya/
Semangkuk Bubur ayam
Semangkuk bubur ayam dan secawan kopi panas menu pagi ini. Masih panas, terlihat uap mengepul berembus aroma sedapnya menusuk hidung. Sambil menyantap bubur, dan sesekali menyeruput kopi, anganku melayang kembali ke masa lampau. Menari-nari mencari sesuatu yang manis untuk dikenang. Namun di balik semua itu ada sekerat rasa kecewa yang menggores relung hati. Ada hal-hal tak mengenakkan yang pernah menyumbat hari-hari lalu di tanah kelahiran, yang sebentar lagi akan kularung selama empat jam lebih sepanjang Sungai Pawan. Masa-masa pahit saat kanak-kanak.
https://inspirasikalbar.com/seorang-kakek-ditangkap-setubuhan-anak-di-bawah-umur/
Aku anak tunggal. Sedari kecil hingga tamat SMP, aku tak pernah merasakan belaian kasih sayang Abah dan Emak. Aku tinggal dengan Kai’ dan Nenek. Orang tuaku berpisah saat aku terlahir ke dunia ini. Sungguh malang nasibku. Abah pergi jauh, tak tentu rimbanya. Emak pergi meninggalkanku begitu saja. Perempuan itu menikah lagi. Hingga detik ini kami tak pernah bertemu. Sepertinya ia enggan untuk bertemu anaknya. Kai’ dan Nenek sudah kuanggap orangtua kandung sendiri.
https://inspirasikalbar.com/bupati-ketapang-tegaskan-komitmen-bangun-jalan-pelang-kepuluk/
Tak terasa suapan demi suapan bubur melaju hingga tak meninggalkan bekas di mangkuk. Nikmat bercampur kaldu dan bumbu yang begitu ngepas di lidah. Ada manis, asam, dan pedas. Kuserup kopi. Menambah gairah. Paling tidak mengusir rasa kantuk yang mengambang di pelupuk mata.
Waktu pun tak terasa bergulir menuju ke angka sembilan. Bergegas membayar makanan, lantas menuju pangkalan longboat yang berjarak hanya beberapa meter saja dari kedai kopi.
https://inspirasikalbar.com/bupati-sujiwo-purnatugas-awal-babak-baru-pengabdi/
Longboat
Longboat sedang bersiap untuk berangkat. Penumpang pun sudah berdatangan, bahkan ada yang sudah duduk di tempatnya masing-masing. Aku duduk paling belakang. Dekat mesin. Di sebelahku seorang lelaki tua bermata sipit, di dekatmya seorang wanita berwajah manis. Kira-kira usianya tidak terpaut jauh denganku. Wajah polos tanpa riasan. Tatapannya dingin, sepertinya memancarkan sebuah misteri. Satu deret bangku memang diisi oleh tiga penumpang.
@@@@@
https://inspirasikalbar.com/bpn-kapuas-hulu-bidik-1-150-bidang-tanah-warga/
Sepanjang perjalanan tak ada obrolan. Riuh rendah suara mesin. Bunyi pusaran sungai terbelah laju longboat. Kecipak air tertepuk tangan penumpang. Pada alur sungai membentuk belahan dihiasi busa putih. Nuansa alami sepanjang sungai sungguh menyegarkan pikiran. Pohon-pohon bakau berjejer di sepanjangnya. Barisan eceng gondok menutupi sebagian aliran sungai, juga sampah-sampah yang berupa ranting-ranting pohon atau batang-batang kayu sisa tebangan hutan berseliweran di permukaan sungai. Membuat laju longboat agak tertahan. Menjaga-jaga agar tak terkena baling-baling. Jika saja tak jeli, barang tentu bisa membuat perjalanan terhambat, longboat akan mogok.
https://inspirasikalbar.com/laba-bank-kalbar-tembus-rp30968-miliar-naik-hampir-10-persen/
Kembali pikiranku mengawang mengintip masa lalu, masa kanak-kanak yang begitu indah untuk ukuran anak desa. Aku mempunyai seorang sahabat, Dollah Langir, anak Kepala Dusun Tanjung Medan. Kemana pun kami sering bersama. Mulai dari sekolah, bermain, selalu bersama. Terkadang adik perempuan Dollah Langir selalu menguntit kemana kami pergi bermain. Midah – nama gadis cilik itu. Gaya tomboy. Jarang bermain sesama kawan perempuannya. Lebih suka ikut kami bermain.
Panorama sepanjang
Sementara pak tua bermata sipit di sampingku, tertidur pulas. Sedang wanita di sampingnya diam menatap tajam ke arah lanting-lanting yang kami lewati. Ia begitu menikmati panorama sepanjang sungai. Walau wajahnya dingin, namun sesungguhnya ia seorang wanita yang cantik. Hanya karena dingin jadi terkesan agak angker. Potongan rambutnya pendek seperti lelaki. Dan aku jadi teringat dengan gadis kecil yang pernah menolongku saat peristiwa yang hampir merenggut nyawaku beberapa tahun silam. Ada kesamaan wajah. Tapi aku sudah begitu lama tak mengingat rupanya. Pertama dan terakhir saat peristiwa naas tersebut. Wajah sama atau serupa itu biasa.
Embusan angin menyejukkan membuat kantuk tak dapat kucegah. Dalam hitungan menit mataku pun terkatup. Entah berapa lama aku tak sadar.
Tiba-tiba aku di sentakkan oleh sebuah tepukan di pundak. Mendarat cukup keras, membuat aku meringis. O- rupanya Dollah Langir. Ia tertawa melihatku kaget. Tangannya memegang sebutir pekawai. Dan Midah sang adik yang setia membuntuti kami memegang setangkai jering muda.
“Jang, ayo kita makan sama-sama. Aku dan Midah diberi oleh Amok Dolbat,“ pelawe Dollah padaku.
https://inspirasikalbar.com/ini-yang-membuat-pw-himpaudi-ketapang-siap-juara-di-sambas/
Gubuk tempat ngaso
Sebenarnya aku enggan bangun. Ngantuk berat. Apalagi semilir angin begitu syahdu membelai dedaunan jering di sekitar gubuk ini. Gubuk tempat biasa kami mengaso. Dulunya hamparan tanah di sekitar sini adalah sawah. Namun karena masyarakat desa tak biasa menanam padi, sawah ini pun dibiarkan begitu saja. Mereka lebih cenderung menanam karet. Di sini biasa kami memancing belut. Aliran sungai kecil yang membujur hingga natai sebelah. Airnya pun sangat jernih. Kami biasa meminumnya. Rasanya segar.
Hari-hari selalu kami lewati di natai. Bermain apa saja. Kemana selalu bertiga. Terkadang memancing, atau berburu burung pipit. Tapi tentu saja aku ke natai tanpa sepengetahuan Kai’. Kalau tahu aku kemari, pasti ia marah besar. Ia kerap berpesan agar kami tak bermain dan berlama-lama di natai.
https://inspirasikalbar.com/dprd-kubu-raya-minta-pemerintah-kaji-ulang-rencana-pemblokiran-rekening/
Menurut orang desa, natai yang berjarak setengah jam dari desa itu angker. Selain itu jauh dari pemukiman. Karena kami masih kanak-kanak, pikiran pendek, peringatan Kai’ sering kami abaikan.
“Jang, coba kau lihat tu!“ tunjuk Dollah ke arah rerimbunan semak belukar. Tampak seekor pelanduk menyembulkan kepalanya.
Dengan cepat disambarnya sumpit bambu, dan ditiupnya, melesatlah anak panah yang terbuat dari jeruji sepeda. Ujung yang tajam itu dilumuri dengan ipuh, racun yang terbuat dari getah pohon Ipuh. Bila kena sasaran, tak ayal sasaran akan menggelepar dan mati.
Sebenarnya aku tak suka jika Dollah selalu membawa sumpit, selain membahayakan binatang juga dapat mencelakakan diri sendiri. Kalau tak hati-hati dengan getah ipuhnya. Inipun di luar sepengetahuan Abah Dollah. Kalau ketahuan, sudah pasti ia akan dirunyak dan dihukum.
Tembakan Dollah kali ini meleset. Hanya menggores wajah pelanduk malang. Kontan hewan itu melesatkan tubuhnya meninggalkan rerimbunan semak belukar tadi. Dollah kecewa tembakannya meleset.
Tiba-tiba Dollah menarik tanganku dan mengajakku untuk mengejar buruannya yang lepas. Aku tersentak kaget. Spontan aku mengikuti ajakannya. Berdua kami mengejar. Sementara Midah tinggal di huma.
https://inspirasikalbar.com/pemkab-dan-dprd-kubu-raya-sepakati-kua-ppas-perubahan-2025/
Semak Belukar
Semak belukar dan hutan karet kami terabas. Jatuh bangun tersandung tunggul pohon karet yang tumbang. Namun hewan buruan yang kami kejar tak terlihat sama sekali. Kami pun letih. Berhenti di tepi sungai dan membasuh muka.
Rasa haus menyeruak
Rasa haus menyeruak. Tanpa pikir panjang air jernih itu kami minum semaunya. Saking sejuk airnya aku coba berendam. Tanpa sadar aku berjalan ke tengah. Sementara Dollah sibuk melacak jejak hewan tadi. Dan dalam hitungan menit, tanpa terasa tubuhku hanyut terbawa arus sungai. Aku terhenyak dan coba berteriak meminta pertolongan kepada Dollah. Tapi ia tak mendengar teriakanku. Semakin berteriak, tenagaku terkuras dan tubuhku tersedot di kedalaman sungai yang tenang.
https://inspirasikalbar.com/rock-in-the-jungle-edisi-kedua-tahun-2025-kembali-digelar/
Aku gelagapan, air dengan cepat masuk ke mulut. Perasaanku melayang. Ringan. Yang kuingat hanya seraut wajah gadis kecil dengan codet di mukanya, sepertinya luka bekas terkena sumpit. Dia memandangku dingin. Apakah itu nyata atau hahy perasaanku saja, akupun tak tahu. Selepas itu dunia terasa gelap.
Sadar tak sadar aku sudah terbaring di rumah. Terbaring lemah di atas tempat tidur, ditunggui Kai’, Nenek, dan ada beberapa orang tetangga. Juga ada Abah Dollah. Mereka semua tampak cemas. Terutama Abah Dollah. Kelihatan dari raut wajahnya yang masai.
“Jang, pergi kemana saja kalian. Kalian buat bimbang kami. Apa yang sudah kalian lakukan, dan apa yang sudah terjadi pada kalian?“ tanya Kai’ perlahan.
https://inspirasikalbar.com/polsek-putussibau-selatan/
“Jang, mana Dollah?“ tanya Abah Dollah tiba-tiba dengan wajah cemas.
Kalimat terbata
Aku hanya terdiam. Mengingat-ingat kejadian demi kejadian. Butuh waktu lama untuk mengingat kejadian naas itu. Perlahan demi perlahan, dan dengan kalimat terbata, kuceritakan apa yang terjadi pada kami ke semua orang yang ada di situ. Kai’ menggelengkan kepalanya. Abah Dollah terhenyak. Semua yang berada di sekitarku terperanjat.
Menurut Kai’, aku di temukan terkapar tak sadarkan diri di tepi sungai. Penduduk desa yang menolongku, mereka melihat ada seorang gadis cilik yang menyeretku ke tepian sungai, sekejap lenyap begitu saja dari pandangan mereka. Mereka tak sempat melihat wajahnya. Sedangkan Dollah hingga saat ini belum ditemukan. Ia raib. Dan Midah ditemukan penduduk di huma dekat natai.
Inilah yang tak di kehendaki oleh Kai’ dan penduduk desa, jika kami bermain di natai. Tempat itu banyak menyimpan misteri. Mereka pun tak mau mengungkapkannya. Sebisa mungkin jangan diceritakan. Seingatku, peristiwa itu bertepatan dengan beberapa hari menjelang bulan Ramadan. Ya – aku ingat, itu Jum’at terakhir di bulan Sya’ban. Kebetulan saat berjamaah Jum’at di mesjid, pak ustaz yang memberi siraman rohani mengatakan seperti itu.
@@@@@
Entah beberapa lama aku tertidur pulas selama perjalanan. Tiba-tiba sebuah benturan keras membuatku tersadar.
Aku terhenyak kaget. Luapan air sungai telah memenuhi longboat yang kami tumpangi. Ya – bakal nahas lagi, gumamku dalam hati.
Penumpang panik
Para penumpang pun berteriak panik. Longboat oleng menabrak sebuah batang kayu besar yang hanyut. Sebagian badan loangboat pecah. Dan bisa ditebak, longboat tenggelam bersama penumpangnya.
Masing-masing coba menyelamatkan diri. Aku mencoba sekuat tenaga menuju tepian sungai. Namun arus begitu deras. Sementara, wanita berambut pendek yang duduk di samping pak tua bermata sipit begitu tenang dalam kondisi darurat seperti ini. Ia tak kesulitan di dalam air. Terkesan ia mengendalikan arus sungai yang deras. Matanya menatap tajam ke arahku. Samar-samar baru terlihat olehku ada bekas codet di wajahnya. Aku jadi teringat dengan gadis cilik yang pernah menolongku berapa tahun yang lalu. Mirip.
https://inspirasikalbar.com/wamentan-dan-gubernur-kalbar-kunjungi-ketapang-kayong-utara/
Wanita dengan wajah bercodet itu berusaha meraihku yang mulai kehilangan tenaga, bahkan tubuhku sudah mulai timbul tenggelam karena melawan arus sungai. Antara setengah sadar. Ia menggapai tubuhku. Dengan tenang ditariknya tubuhku ke tepian.
Aku tak sadarkan diri. Sadar tak sadar aku sudah berada di ruang ICU RSUD Agoesjam. Nampak Kai’ dan Nenek berada di dekat pembaringan. Wajah senja itu cemas. Ternyata tiga hari aku koma, dan baru tersadar. Kutanyakan pada Kai’ di mana keberadaan wanita misterius yang telah menolongku. Wajah tua itu menggelengkan kepalanya.
Ya, lagi-lagi peristiwa serupa kualami. Anehnya, atau memang suatu kebetulan, peristiwa yang kualami kali ini juga menjelang memasuki bulan Ramadan. Jum’at terakhir di bulan Sya’ban.
https://inspirasikalbar.com/padang-12-potensi-wisata-yang-luar-biasa/
Aku baru menyadari, wanita itu barangkali gadis cilik yang dulu pernah menyelamatkan nyawaku. Entah dari mana asalnya, manusia nyata atau bukan, yang pasti ia juga ciptaan Allah SWT. Allah punya kuasa untuk membantu umatnya lewat siapa saja, karena di kehidupan ini tak bisa dipungkiri adanya alam gaib. Semua itu rahasia dan kebesaran Allah semata. (Jga)
Note :
Kai’ = kakek (Ketapang)
natai = areal daratan tanpa lumpur (Ketapang)
pekawai = salah satu varietas buah durian yang berasal dari Kalimantan Barat
dirunyak = diomel (Ketapang)