InspirasiKalbar, Pontianak – Setiap 5 Juni, dunia memperingati Hari Lingkungan Hidup. Tema yang diangkat “Restorasi lahan, penggurunan, dan ketahanan terhadap kekeringan” Untuk Kalimantan Barat (Kalbar) sepertinya kurang pas. Persoalan lingkungan hidup paling mengemuka saat ini, maraknya Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) dan deforestasi atau pembabatan hutan.
Saya ungkapkan dulu data terkait PETI di Bumi Khatulistiwa. Pada 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan seorang warga negara Cina (berinisial YH) sebagai tersangka kasus tambang emas ilegal di Kabupaten Ketapang.
YH merupakan operator tambang yang memanfaatkan terowongan bekas tambang yang sebelumnya legal tetapi berhenti beroperasi dan berstatus pemeliharaan. Terowongan ini digunakan untuk penambangan emas tanpa izin. Terowongan bekas tambang yang dieksploitasi mencapai 1.647,3 meter dengan volume sekitar 467,2 meter kubik. Tambang ini jelas ilegal dan sangat merusak alam.
Pada 2021 Polda Kalbar mengungkap 42 kasus PETI selama 14 hari. Sebanyak 62 orang tersangka ditangkap dalam operasi ini. Tambang ini merusak 1.000 hektare lahan. Pada 2022, lima pekerja menjadi korban jiwa akibat longsor tambang emas tanpa izin di Bengkayang.
Pada 2015, delapan orang dilaporkan tewas akibat longsornya lokasi galian tambang emas ilegal di Desa Taisan, Kecamatan Monterado, Bengkayang. Pada tahun ini, kegiatan PETI telah mengakibatkan 80 korban jiwa berjatuhan. Jadi, bukan hanya merusak lingkungan tapi sudah banyak memakan korban jiwa. Anehnya, bukannya berhenti, PETI masih tetap saja marak.
PETI ditertibkan aparat, banyak tak terima. Beberapa massa dari DAS Kapuas pernah melakukan demo di Kantor Bupati Sekadau. Mereka menolak larangan penambangan emas tanpa izin.
Warga meminta kebijakan pemerintah untuk tidak melarang mereka melakukan penambangan emas di wilayah Sekadau. Coba banyangkan, sudah merusak hutan dan aliran sungai, ditertibkan lalu marah. Setelah itu, minta pekerjaan ke pemerintah. Kondisi dilematis inilah yang sering dihadapi oleh Pemerintah Daerah.
Kalau tadi PETI, sekarang soal deforestasi. Dalam dua dekade terakhir, Kalbar telah kehilangan sekitar 1,25 juta hektar hutan primer. Wilayah ini memiliki total luasan 6,88 juta hektar hutan primer (47%) dari total wilayah seluas 14,9 juta hektar. Deforestasi terbesar terjadi karena alih fungsi hutan untuk perkebunan sawit.
Pada tahun 2020, Kalbar kehilangan 32.000 hektar hutan primer, setara dengan 23 juta ton emisi CO₂. Analisis ini menunjukkan bahwa hutan Kalbar terus tergerus, dan perlindungan serta pemulihan hutan menjadi sangat penting.
Dari kenyataan itu, Kalbar menghadapi tantangan lingkungan hidup sangat nyata. Kawasan ini, yang dikenal dengan kekayaan alamnya, semakin terperosok dalam masalah deporestasi yang memprihatinkan. Deporestasi, atau penggundulan hutan, tidak hanya mengancam keberlangsungan hidup spesies-spesies endemik, tetapi juga memberikan dampak serius terhadap manusia dan lingkungan sekitarnya.
Dampak Deporestasi
Kalbar merupakan salah satu daerah di Indonesia yang terkenal dengan kekayaan alamnya. Sayangnya, kekayaan ini tidak diiringi dengan manajemen yang berkelanjutan. Deporestasi menjadi masalah serius di sini, dengan laju penebangan hutan yang terus meningkat setiap tahunnya.
Faktor-faktor seperti pertambangan, perkebunan kelapa sawit, dan pembangunan infrastruktur menjadi pendorong utama di balik deporestasi ini. Dampak deporestasi tidak hanya terasa pada lingkungan secara keseluruhan, tetapi juga pada masyarakat lokal yang bergantung pada hutan untuk kehidupan mereka.
Hutan hujan bukan hanya rumah bagi flora dan fauna yang unik, tetapi juga menyediakan sumber daya alam bagi penduduknya, mulai dari hasil hutan seperti kayu dan buah-buahan hingga layanan ekosistem seperti regulasi iklim dan penyediaan air bersih.
Deporestasi juga memiliki dampak yang signifikan terhadap pola cuaca dan iklim setempat. Salah satu contohnya adalah peningkatan frekuensi dan intensitas banjir yang sering melanda Kalbar.
Saat hutan ditebangi secara besar-besaran, fungsi ekologisnya sebagai penyerap air dan penyimpanan air berkurang secara drastis. Akibatnya, air hujan tidak terserap dengan baik oleh tanah dan aliran permukaan air menjadi lebih cepat, menyebabkan banjir.
Di sisi lain, deporestasi juga berkontribusi pada kekeringan yang semakin sering terjadi di musim kemarau. Tanpa hutan yang berfungsi sebagai penyaring air dan menjaga siklus hidrologis yang seimbang, pasokan air menjadi terancam. Hal ini berdampak buruk pada pertanian, sumber air minum, dan kehidupan sehari-hari masyarakat setempat.
Tawaran Solusi
Menghadapi tantangan lingkungan hidup ini, restorasi lahan muncul sebagai salah satu solusi yang menjanjikan. Restorasi lahan mencakup serangkaian kegiatan untuk mengembalikan fungsi ekologis dari lahan-lahan yang telah terdegradasi, termasuk lahan-lahan bekas hutan yang telah ditebangi.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah rehabilitasi hutan dengan menanam kembali jenis-jenis pohon asli yang sesuai dengan ekosistem setempat. Hal ini tidak hanya membantu dalam menyimpan karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga memulihkan habitat bagi spesies-spesies yang terancam punah.
Selain itu, restorasi lahan juga mencakup pengembalian fungsi hidrologis dari lahan-lahan yang terdegradasi. Penanaman vegetasi yang tepat dapat membantu dalam menjaga ketersediaan air, mengurangi risiko banjir, dan meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan.
Sementara solusi untuk mengatasi PETI, berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
Pertama, Penegakan Hukum yang Tegas. Diperlukan komitmen dari pemerintah dan penegak hukum untuk menindak tegas praktik PETI. Penegakan hukum harus berdasarkan konsep yang dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua, Evaluasi Dampak Lingkungan dan Sosial. Selain kerusakan lingkungan, dampak sosial dan ekonomi juga harus dievaluasi. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat yang terdampak harus diperhatikan dalam penyelesaian masalah PETI.
Ketiga, Kolaborasi Banyak Pihak. Penanganan PETI memerlukan kerja sama antara pemerintah, penegak hukum, dan berbagai pihak terkait. Semua pihak harus berkontribusi untuk menemukan solusi yang tepat1.
Keempat, Pengawasan dan Edukasi. Pemerintah dapat meningkatkan pengawasan terhadap lokasi-lokasi PETI dan memberikan edukasi kepada masyarakat tentang dampak negatif PETI. Kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam harus ditingkatkan.
Terakhir, Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah. Polda Kalbar juga mengajak Pemerintah Daerah untuk bersama-sama mencari solusi yang baik dan tidak melanggar hukum terkait aktivitas penambang emas tanpa izin. Ketika semua bisa berkolaborasi, persoalan apapun bisa dicarikan solusinya. Dengan catatan, semua memang mencintai dan melindungi Lingkungan Hidup dari segala kerusakan.
Kesimpulan
Hari Lingkungan Hidup Dunia mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan melestarikan alam untuk generasi yang akan datang. Dengan fokus pada restorasi lahan dan ketahanan terhadap kekeringan, kita dapat menghadapi tantangan lingkungan hidup dengan lebih baik, terutama di daerah-daerah seperti Provinsi Kalimantan Barat yang sedang mengalami krisis lingkungan.
PETI marak dan Deporestasi yang semakin cepat di daerah ini tidak hanya meningkatkan risiko banjir, tetapi juga memperparah masalah kehidupan masyarakat. Melalui upaya restorasi lahan yang kolaboratif, kita dapat mengembalikan keseimbangan alam dan meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang semakin ekstrim.
Sekaranglah saatnya untuk bertindak. Dengan mengambil langkah-langkah konkret dalam mendukung restorasi lahan dan ketahanan terhadap kekeringan, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih hijau dan berkelanjutan untuk semua makhluk hidup di planet ini. Selamat Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2024.
Penulis: Rosadi Jamani, Dosen UNU Kalimantan Barat