InspirasiKalbar, Sekadau – Nama Markus Nerang mungkin tidak begitu dikenal oleh banyak orang, tetapi bagi masyarakat di kampungnya, ia lebih akrab disapa “Rurut.” Julukan ini diberikan sejak masa mudanya, saat ia berjuang bersama rekan-rekannya membuka lahan untuk berladang.
Namun, bukan hanya namanya yang meninggalkan jejak di tengah masyarakat, melainkan juga keteguhan dan pengorbanannya demi pendidikan anak-anaknya.
Perjuangan Seorang Ayah
Lahir dari keluarga sederhana, Markus Nerang bersama istrinya, In’a, harus menghadapi kenyataan pahit kehidupan yang serba kekurangan.
Mereka tidak pernah mengenyam pendidikan formal, hanya mengikuti program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) agar bisa membaca, menulis, dan berhitung secara sederhana. Meski demikian, mereka memiliki cita-cita besar untuk anak-anaknya: mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan tidak mengalami kesulitan hidup seperti mereka.
“Kalian harus sekolah yang bagus dan tinggi,” begitu pesan yang selalu diulang oleh Markus kepada kesembilan anaknya.
Sejak sang istri berpulang pada tahun 1996, Markus tidak pernah mencari pengganti. Ia tetap setia dan fokus membesarkan serta menyekolahkan anak-anaknya seorang diri. Pekerjaan utamanya adalah berladang dan menyadap karet.
Namun, penghasilan dari karet sering kali tidak mencukupi, terutama saat musim paceklik, di mana stok padi habis dan harga beras melambung tinggi.
Pengorbanan Demi Pendidikan
Kendati hidup dalam keterbatasan, Markus tidak pernah menyerah. Jika uang sekolah anak-anaknya menunggak, ia akan bekerja lebih keras, bahkan menjual apa pun yang bisa menghasilkan uang.
Dari kambing peliharaan, rangka sepeda tua, hingga hasil sadapan karet yang dijual “basah-basah” kepada seorang toke bernama Apun, sahabat setianya yang selalu bersedia memberi utang.
Ketika anak-anaknya mulai bersekolah di luar kampung, mereka harus tinggal di asrama dengan biaya yang sering tertunggak. Jika tak ada uang, mereka harus pulang sementara dan membantu ayahnya menyadap karet hingga cukup untuk membayar biaya sekolah.
Namun, bagi Markus, segala pengorbanan ini adalah investasi jangka panjang. Ia memiliki empat prinsip utama yang selalu ditekankan kepada anak-anaknya:
- Seragam Kerja: Harus rapi, bersih, dan terlihat profesional, berbeda dengan pakaian kerja ayah dan ibu di ladang.
- Senjata Kerja: Pulpen dan tas kerja menggantikan parang dan pisau sadap karet.
- Tempat Bekerja: Bekerja di tempat yang nyaman, tidak kehujanan atau kepanasan seperti di ladang.
- Kendaraan Kerja: Harus memiliki kendaraan yang nyaman untuk pergi ke tempat kerja, tidak berjalan kaki atau terkena hujan di perjalanan.
Mewujudkan Impian Sang Ayah
Berkat kerja keras dan semangat pantang menyerah sang ayah, anak-anak Markus Nerang berhasil mengenyam pendidikan tinggi. Dari sembilan bersaudara, beberapa di antaranya bahkan menempuh pendidikan hingga ke luar negeri.
M-3 meraih gelar S-2 dari Ohio State University, Amerika Serikat, dan kini menjadi dosen di sebuah universitas negeri di Pontianak.
M-9 menjadi biarawati Kongregasi Pasionis dan menempuh pendidikan di Humber College, Toronto, Kanada.
M-5 meraih gelar doktor (S-3) dari Fakultas Ekonomi Universitas Tanjungpura dan kini menjabat sebagai Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), satu-satunya perguruan tinggi di Kabupaten Sekadau.
M-2 dan M-4 sedang menempuh program S-3 di sebuah perguruan tinggi negeri di Palangkaraya.
Sayangnya, dua saudara mereka, M-6 dan M-1, telah berpulang lebih dulu. Namun, perjuangan dan pengorbanan sang ayah tidaklah sia-sia.
Warisan Seorang Ayah
Markus Nerang telah berpulang pada 4 Juni 2012 dalam usia 74 tahun. Ia mengembuskan napas terakhirnya setelah mengalami kondisi darurat di rumahnya yang juga berfungsi sebagai toko kecil di KM 27, jalan Sekadau-Sintang.
Meski telah tiada, semangat dan nilai-nilai yang di tanamkannya terus hidup dalam diri anak-anaknya.
Dari seorang pria sederhana yang hanya menginginkan anak-anaknya tidak mengalami nasib yang sama dengannya, lahirlah generasi penerus yang berpendidikan tinggi dan mampu mengubah masa depan keluarga mereka.
Inilah kisah seorang ayah yang di kenal bukan karena kekayaannya, tetapi karena anak-anaknya yang berhasil meraih gelar sarjana dan lebih.
Sebuah bukti bahwa cinta dan pengorbanan orang tua adalah warisan terbesar bagi anak-anaknya.
Penulis : Munaldus