Israel Desak Trump Bertindak Cepat terhadap Iran

Inspirasikalbar, Internasional — Ketegangan antara Israel dan Iran kembali meningkat menyusul laporan bahwa Israel telah mendesak pemerintahan Presiden Donald Trump untuk tidak menunggu hingga dua minggu ke depan guna mengambil tindakan terhadap program nuklir Iran.
Dua sumber yang mengetahui pembicaraan tersebut mengungkapkan bahwa Israel mempertimbangkan bertindak secara sepihak jika Washington menunda keputusan.
Kekhawatiran utama Israel terletak pada ambisi nuklir Iran yang di nilai dapat mengancam stabilitas kawasan dan keamanan global.
Dalam sebuah percakapan telepon yang berlangsung Kamis lalu, pejabat Israel menyampaikan kekhawatiran mereka secara langsung kepada pemerintahan Trump. Sumber menyebutkan panggilan itu berlangsung dalam suasana tegang.
“Israel merasa waktu mereka sangat terbatas untuk melakukan serangan ke situs nuklir penting Iran, terutama Fordow,” kata salah satu sumber keamanan yang meminta identitasnya di rahasiakan. “Situs itu berada di dalam pegunungan dan sangat sulit di jangkau tanpa teknologi penghancur bunker milik AS.”
Dalam percakapan tersebut, hadir sejumlah tokoh penting Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Menteri Pertahanan Israel Yisrael Katz, serta Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Eyal Zamir.
Sumber yang sama menyebutkan, Pemerintah Israel tidak puas dengan tenggat waktu dua minggu yang di ajukan Presiden Trump sebelum mengambil keputusan apakah AS akan terlibat dalam konfrontasi langsung dengan Iran. Bagi Israel, jangka waktu tersebut terlalu lama untuk menunggu perkembangan kesepakatan yang belum pasti.
Beberapa negara melakukan perundingan
Sementara itu, upaya diplomatik di Eropa pun belum menunjukkan hasil konkret. Inggris, Prancis, dan Jerman yang tergabung dalam kelompok ‘E3’ telah melakukan perundingan dengan Iran di Jenewa, Swiss, pada Jumat (20/6) lalu. Namun, hingga kini belum ada titik temu yang menjanjikan. Iran tetap bergeming terhadap tekanan internasional dan menolak permintaan untuk membongkar bagian penting dari fasilitas nuklirnya.
Amerika Serikat sendiri dilaporkan telah beberapa kali berusaha membuka jalur perundingan langsung dengan Iran, namun selalu berujung pada penolakan. Iran menuduh AS bersikap hipokrit dan tidak konsisten dalam kebijakan luar negerinya.
Sementara itu, di dalam negeri AS, muncul tekanan dari kalangan Partai Republik. Senator Lindsey Graham, sekutu dekat Trump dari Carolina Selatan, secara terbuka menyatakan harapannya agar Presiden Trump mengambil langkah tegas membantu Israel menggagalkan program nuklir Iran.
“Kita tidak bisa membiarkan Iran mencapai titik di mana mereka punya senjata nuklir. Itu akan mengancam Israel, sekutu kita, dan tatanan global,” ujar Graham dalam sebuah pernyataan.
Namun, posisi Trump sendiri terlihat belum sepenuhnya tegas. Meskipun dalam kampanye ia berjanji akan menjauhkan AS dari perang luar negeri yang dianggapnya “bodoh”, retorikanya terhadap Iran belakangan ini menunjukkan arah yang lebih agresif. Beberapa analis menilai bahwa Trump kini berada dalam dilema antara menjaga warisan kampanye anti-perang dan tekanan politik serta militer untuk bertindak.
“Presiden Trump menghadapi tekanan yang sangat besar,” kata seorang mantan pejabat senior Gedung Putih yang kini menjadi analis politik. “Di satu sisi dia tidak ingin memulai konflik baru di Timur Tengah, tapi di sisi lain dia tahu bahwa jika Iran berhasil mempertahankan program nuklirnya, maka kredibilitasnya dan hubungan dengan Israel bisa di pertaruhkan.”
Ketegangan ini menandai babak baru dalam konfrontasi berkepanjangan antara Israel dan Iran, yang selama bertahun-tahun saling menuding dan terlibat dalam aksi militer terbatas di wilayah perbatasan maupun melalui proksi. Sementara perhatian dunia tertuju pada diplomasi, ancaman aksi militer tampaknya semakin nyata.