InspirasiKalbar, Mempawah – Tahun 2024 hampir memasuki kuartal akhirnya dengan target PT. Borneo Alumina Indonesia (BAI) untuk mengoperasikan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) pada Oktober 2024.
Pengejaran target ini memberikan tekanan besar bagi pihak perusahaan. Namun, dalam proses konstruksi, insiden tragis telah terjadi, menewaskan seorang pekerja asal Aceh.
Dalam rilis media, disebutkan bahwa korban sedang memeriksa kedalaman pengerukan tanah untuk pemasangan pipa bersama seorang pekerja lainnya.
Keduanya tertimbun tanah, dan sayangnya, pekerja asal Aceh tersebut tidak dapat diselamatkan. Insiden ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai penerapan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di proyek konstruksi SGAR ini.
Hendrikus Adam, Direktur WALHI Kalimantan Barat, mengungkapkan keprihatinannya atas kejadian ini.
“Belum juga beroperasi, namun sudah memakan korban. Bukankah PT. BAI berkomitmen untuk menyerap tenaga kerja di Sungai Kunyit? Dengan kejadian ini, kita semakin mempertanyakan komitmen dan janji-janji manis PT. BAI. Apakah komitmen tersebut memang akan direalisasikan atau hanya sekedar pemulus kegiatan konstruksi?” tegasnya.
Penelitian WALHI Kalbar di wilayah lanskap Sungai Kunyit menunjukkan bahwa PT. BAI dan pemerintah menutup rapat informasi penting dari penduduk lokal dan masyarakat sipil.
Informasi yang berkaitan dengan dampak pembangunan dan pengoperasian pabrik smelter ini dianggap vital karena akan mempengaruhi kehidupan banyak orang, baik langsung maupun tidak langsung.
Penduduk lokal mengaku tidak pernah mendapatkan informasi yang memadai tentang rencana pembangunan dan pengoperasian pabrik smelter PT. BAI, kecuali janji peluang lapangan kerja baru dan kemajuan ekonomi Mempawah yang sering disampaikan oleh pejabat dalam pidato seremonial atau wawancara media. Namun, kenyataannya, pekerja dari luar daerah, termasuk dari Tiongkok, justru mendominasi.
Penduduk juga tidak pernah diberitahu tentang potensi limbah beracun yang akan dihasilkan dari proses penyulingan bauksit menjadi alumina, seperti lumpur merah dan Fly Ash Bottom Ash (FABA) dari pembakaran batu bara di PLTU perusahaan.
Diduga, penutupan informasi ini merupakan strategi PT. BAI dan pemerintah untuk mencegah ketakutan penduduk lokal yang bisa berujung pada aksi protes besar-besaran.
“Rencana pemasangan pipa di bawah tanah juga perlu mendapat perhatian. Dengan ukuran sebesar itu, ke mana pipa tersebut akan bermuara? Jangan sampai pipa tersebut malah mengarah ke laut dan digunakan sebagai instalasi pembuangan limbah,” pungkas Adam.
Insiden ini semakin menyoroti pentingnya transparansi dan komitmen terhadap keselamatan kerja, serta keterbukaan informasi dari PT. BAI dan pemerintah kepada masyarakat lokal.