15 November 2025

Ketika Ketakutan Jadi Hiburan: Fenomena Meledaknya Konten Horor di YouTube Indonesia

Foto konten horor

Oleh : Lucia Diyah Reny Puspitasari, S.I.Kom. Mahasiswa Magister Komunikasi STIKOM Interstudi

InspirasiKalbar, Opini-Siapa sangka rasa takut bisa menjadi hiburan massa ? Di Indonesia, justru hal inilah yang sedang terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia menunjukkan ketertarikan yang luar biasa terhadap konten horor di YouTube. Nama-nama seperti Nadia Omara, Nessie Judge, Sara Wijayanto, Jurnal Risa, hingga RJL5 kini bukan hanya dikenal sebagai “YouTuber horor,” tapi juga ikon budaya populer baru yang berhasil menyatukan rasa takut, rasa penasaran, dan hiburan dalam satu layar. Angkanya tidak main-main.

Nadia Omara memiliki 13,2 juta subscribers, Nessie Judge 11,5 juta subscribers, Sara Wijayanto mencapai 11,2 juta subscribers, Jurnal Risa di angka 7,16 juta subscribers dan RJL5 menyentuh 5,39 juta subscribers. Jika dijumlahkan, totalnya mencapai puluhan juta penonton aktif bahkan beberapa video mereka ditonton jutaan kali hanya dalam waktu satu hari tayang saja. Fenomena ini bukan sekadar “orang suka hal mistis.” Lebih dari itu, ini mencerminkan bagaimana komunikasi massa, budaya digital, dan psikologi sosial bekerja bersama membentuk tren hiburan baru. Lalu apa yang sebenarnya sedang terjadi di balik popularitas konten horor di Indonesia?

https://inspirasikalbar.com/bupati-kubu-raya-warning-pemain-layang-layang-bertali-kawat/

Horor sebagai Bahasa Budaya
Dalam ilmu komunikasi, salah satu konsep yang sering digunakan untuk memahami fenomena sosial adalah komunikasi budaya. Melalui kacamata ini, konten horor di Indonesia bisa dilihat sebagai cerminan nilai dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal gaib yang sudah mengakar sejak lama. Masyarakat Indonesia dikenal masih memiliki kedekatan kuat dengan hal-hal mistis. Cerita tentang arwah, tempat angker, dan makhluk tak kasat mata bukanlah hal asing. Dari dongeng nenek moyang, kisah lokal, hingga pengalaman pribadi, semua ini menjadi bagian dari warisan komunikasi antar generasi. Ketika media digital hadir, cerita-cerita itu menemukan rumah baru: “YouTube”.

Konten horor seperti yang dibuat Jurnal Risa atau Sara Wijayanto sejatinya melanjutkan tradisi “cerita dari mulut ke mulut”, hanya saja kini dikemas dalam format audio-visual yang lebih modern. Penonton tak hanya mendengar, tapi juga melihat ekspresi, suasana, bahkan efek suara yang membuat seolah mereka ikut berada di lokasi. Inilah bentuk *pergeseran media komunikasi budaya*: dari api unggun ke layar kaca, lalu ke layar ponsel.

https://inspirasikalbar.com/pemkab-kubu-raya-genjot-percepatan-listrik-masuk-desa-terpencil/

Mengapa Kita Suka Ditakut-takuti?
Dalam teori komunikasi massa, ada konsep yang disebut Uses and Gratifications Theory . Teori ini menjelaskan bahwa orang tidak pasif ketika mengonsumsi media mereka. Ada pola aktif ketika memilih konten yang memenuhi kebutuhan psikologis dan sosial mereka. Jika diterapkan pada fenomena ini, kita bisa bertanya: Mengapa jutaan orang rela menonton video yang membuat bulu kuduk merinding? Ada beberapa alasan yang masuk akal:
Kebutuhan akan hiburan dan adrenalin. Menonton film atau video horor memberi sensasi “aman tapi menegangkan.” Penonton tahu mereka sedang takut, tapi tidak dalam bahaya nyata. Rasa takut ini memicu adrenalin yang membuat tubuh justru merasa lebih hidup
Kebutuhan sosial. Menonton konten horor sering menjadi bahan obrolan bersama teman, terutama di media sosial. “Kamu nonton RJL5 yang terbaru belum?” menjadi bentuk komunikasi sosial baru
Kebutuhan identitas. Banyak penonton merasa “keren” karena berani nonton konten yang menyeramkan. Ada rasa pencapaian tersendiri setelah berhasil menonton video penuh tanpa menutup mata
Kebutuhan kognitif. Konten seperti Nessie Judge tidak hanya menyeramkan, tapi juga edukatif. Konten Nessie Judge membahas misteri, mitos, dan kasus nyata dengan analisis logis. Ini memberi kepuasan intelektual bagi penontonnya. Dengan kata lain, horor bukan sekadar “menakutkan,” tapi juga memenuhi banyak kebutuhan komunikasi manusia dari emosi hingga identitas.

https://inspirasikalbar.com/bupati-sujiwo-tegaskan-pelayanan-kesehatan-di-kubu-raya-harus-utamakan-rakyat-bukan-administrasi/

Rasa Dekat Penonton dengan Pembuat Konten
Fenomena menarik lain dari popularitas YouTuber horor adalah hubungan parasosial yaitu hubungan semu antara penonton dan figur publik di media. Misalnya, banyak penonton merasa sangat dekat dengan Risa Saraswati (Jurnal Risa) atau Sara Wijayanto, seolah-olah mereka adalah teman pribadi yang bisa dipercaya. Hal ini terjadi karena cara mereka berkomunikasi terasa jujur dan personal. Sara Wijayanto, misalnya, sering memperlihatkan sisi spiritualitas dan empatinya terhadap “makhluk lain” dengan cara yang lembut dan manusiawi. Risa pun sering mengajak keluarganya dalam video, sehingga penonton merasa ikut menjadi bagian dari “keluarga Jurnal Risa.” Hubungan ini memperkuat loyalitas penonton. Dalam komunikasi digital, kedekatan emosional seperti ini menjadi faktor utama keberhasilan sebuah kanal.

Storytelling yang Kuat dan Konsisten
Dari sisi teknik komunikasi, kekuatan utama para YouTuber horor ini ada pada kemampuan bercerita (storytelling). Mereka tidak hanya menampilkan ketakutan, tetapi membangun narasiyang menggugah rasa ingin tahu. Mereka semua berhasil menciptakan kredibilitas dan gaya komunikasi khas, yang menjadi identitas media masing-masing.
Nessie Judge dikenal dengan gaya analisis misteri dan storytelling rapi, membuat penonton terlibat dalam logika cerita.
Nadia Omara mengandalkan suara lembut dan visual yang tenang untuk membangun suasana mencekam tanpa berlebihan.
Sara Wijayanto mengombinasikan unsur spiritual dan dokumenter.
Risa Saraswati menghadirkan kisah personal dengan “teman gaibnya,” membuat penonton merasa seperti mendengar cerita nyata.
RJL5 membawa gaya “investigasi lapangan,” dengan format tim yang menelusuri tempat angker sehingga memberi sensasi realistis dan interaktif.

https://inspirasikalbar.com/apresiasi-bunda-paud/

Fenomena Komunitas Virtual: Dari Penonton Jadi Bagian Cerita
Menariknya, para penggemar konten horor tidak berhenti sebagai penonton pasif. Mereka aktif berkomentar, berbagi pengalaman pribadi, bahkan membuat komunitas online di media sosial. Di kolom komentar video, sering muncul cerita-cerita pribadi seperti: “Kak, aku juga pernah ngalamin hal yang sama di rumahku.” Inilah contoh nyata dari komunikasi dua arah dalam media digital. Dulu, cerita horor hanya satu arah: penulis ke pembaca. Sekarang, penonton ikut menulis ulang narasi lewat komentar. Media horor menjadi ruang di mana orang menegosiasikan makna “takut” dan “mistis” bersama-sama. Takut tak lagi menjadi hal individual, tapi pengalaman sosial bersama.

Sisi Positif Fenomena Konten Horor
Katarsis Emosional. menonton hal yang menegangkan bisa menjadi cara menyalurkan emosi terpendam. Setelah menonton video horor, penonton bisa merasa “lega” seperti habis naik roller coaster. Ini disebut efek katarsis
Peningkatan Kreativitas. Konten horor di YouTube membuka ruang ekspresi baru bagi kreator muda: mulai dari penulisan naskah, sinematografi, editing suara, hingga storytelling.
Pelestarian Budaya. Video seperti Jurnal Risa atau RJL5 sering kali mengeksplorasi tempat-tempat bersejarah, cerita rakyat, dan legenda lokal. Tanpa disadari, mereka melestarikan budaya lisan Indonesia dalam bentuk digital yang bisa ditonton lintas generasi.
Edukasi Spiritual dan Empati. Khusus pada konten seperti milik Sara Wijayanto, penonton belajar untuk tidak menertawakan hal gaib, tapi memandangnya dengan empati dan hormat. Ini secara halus membangun kesadaran spiritual dan nilai kemanusiaan.

https://inspirasikalbar.com/pengawasan-rutan-dan-lapas-di-kalbar-diperketat/

Sisi Negatif Fenomena Konten Horor
Kecanduan dan Gangguan Tidur. Beberapa penonton, terutama anak muda, menonton konten horor secara berlebihan hingga mengalami gangguan tidur atau kecemasan. Rasa penasaran berubah jadi ketergantungan terhadap sensasi takut.
Isu Etika dan Privasi. Konten investigasi tempat angker kadang melibatkan lokasi nyata seperti rumah kosong atau area publik. Jika tidak dilakukan dengan izin atau etika yang benar, bisa menimbulkan masalah hukum dan sosial.
Horor sebagai Cermin Sosial. Minat besar terhadap horor juga bisa dibaca sebagai cermin kondisi masyarakat. Dalam masa penuh tekanan saat ini seperti tekanan ekonomi, pekerjaan, ketidakpastian sehingga orang cenderung mencari pelarian. Ketika dunia nyata terasa menakutkan, menonton hal “lebih menakutkan” justru bisa membuat kita merasa berkuasa atas rasa takut itu.

Masa Depan Horor di Era Digital.
Jika dilihat dari tren, minat masyarakat terhadap konten horor tidak akan surut dalam waktu dekat. Justru, dengan munculnya teknologi AI, VR, dan AR, bentuk komunikasi horor akan semakin interaktif. Bayangkan jika penonton bisa “masuk” ke rumah hantu virtual buatan Jurnal Risa atau mengikuti “penelusuran digital” bersama RJL5. Namun, di tengah perkembangan teknologi, hal yang tetap tidak berubah adalah kekuatan cerita . Pada akhirnya, daya tarik horor selalu kembali pada kemampuan seorang komunikator untuk menyampaikan kisah yang menggugah imajinasi dan emosi.

https://inspirasikalbar.com/inspektorat-awasi-pengelolaan-pades-agar-tak-salah-kelola/

Takut yang Menghubungkan Kita
Fenomena meledaknya konten horor di YouTube Indonesia menunjukkan betapa komunikasi sangat dipengaruhi oleh kebutuhan emosional dan budaya masyarakat. Horor menjadi ruang bersama tempat orang menyalurkan rasa takut, penasaran, dan bahkan kepercayaan spiritual. Namun satu hal yang pasti fenomena ini menunjukkan bahwa komunikasi bukan hanya soal menyampaikan pesan, tapi juga tentang memahami rasa, termasuk rasa takut. Dan di negeri yang kaya dengan cerita mistis seperti Indonesia, rasa takut ternyata bisa menjadi sesuatu yang justru “menyatukan banyak orang”.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *