Rumah Panjang Terakhir di Sekadau “Menanti” Perhatian: Cagar Budaya yang Kesepian di Sungai Antu

Cagar Budaya Rumah Panyai Sungai Antu di Dusun Sungai Antu Hulu, Desa Sungai Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu, Kabupaten Sekadau. (Foto/Hendrikus Adam)
InspirasiKalbar, Sekadau – Rumah Panyai Sungai Antu, satu-satunya rumah panjang yang masih berdiri kokoh di Bumi Lawang Kuari, mencuri perhatian aktivis lingkungan Hendrikus Adam.
Ia mengunjungi destinasi budaya ini yang telah masuk daftar 14 cagar budaya resmi oleh Pemerintah Kabupaten Sekadau.
Bangunan bersejarah ini berdiri di Dusun Sungai Antu Hulu, Desa Sungai Antu Hulu, Kecamatan Belitang Hulu.
Sejak tahun 1961, komunitas Dayak Mualang telah menghuni rumah panjang ini. Awalnya bangunan tersebut memiliki 17 bilik, namun kini hanya lima bilik yang masih ditempati.
Masing-masing bilik mencantumkan nama penghuni seperti Wasitu, Karong, Jumbal, hingga P. Numbing.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 menjelaskan bahwa cagar budaya merupakan warisan kebendaan yang memiliki nilai penting dalam bidang sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, hingga kebudayaan.
Namun Rumah Panyai justru tampak “kesepian” dan belum memperoleh perhatian serius sebagai destinasi wisata.
Hendrikus menempuh perjalanan yang cukup menantang saat menuju lokasi. Jalan menuju rumah panjang ini penuh lubang, bergelombang, berlumpur, dan licin saat hujan turun.
Air kerap menutupi badan jalan, sementara jembatan penghubung dari kayu ulin tampak rapuh. Beberapa bagian pagar pembatas bahkan sudah roboh. Di salah satu bilik, Hendrikus bertemu dengan seorang anak kecil bernama Pangkurius Bagara.
Warga sekitar sering memanggilnya “Pastor Cilik.” Menurut sang ibu, nama Bagara terinspirasi dari sosok Pastor Bagara Darmawan. Kehadiran bocah ini menghadirkan sisi humanis di tengah suasana rumah panjang yang sunyi.
Bangunan khas Dayak ini memancarkan nuansa sejarah yang kental. Sayangnya, suasana sekitar terasa lengang dan minim fasilitas.
Tak ada jaringan seluler di kawasan ini, membuat komunikasi semakin sulit. Rumah Panyai bukan hanya kesepian, tapi juga terkucil karena buruknya infrastruktur.
Hendrikus berharap pemerintah dan masyarakat setempat bisa bergandengan tangan untuk menghidupkan kembali Rumah Panyai.
Dengan perhatian yang tepat, rumah panjang ini bisa menjadi destinasi wisata yang unik dan membanggakan Kalimantan Barat.
“Akhirnya saya bisa menyaksikan langsung rumah panjang yang dulu hanya saya lihat di gambar warkop Bung Gusti Eka Firmanda, atau saat tanya-tanya ke Pastor Apeiron Ferry. Aseek!” tulis Hendrikus menutup ceritanya.