Singkawang, Kota yang Menyapa dengan Warna dan Doa

Jepretan Layar 2025-06-13 pukul 07.51.50

Inspirasikalbar, Pontianak- Mentari pagi baru saja naik dari ufuk timur saat deretan lampion merah mulai menyala malu-malu di sudut-sudut kota. Jalan-jalan di pusat kota masih lengang, hanya sesekali terdengar suara sepeda motor melintas dan obrolan hangat para pedagang yang membuka warung kopi.

Singkawang, sebuah kota di Kalimantan Barat, dikenal sebagai “Kota Seribu Klenteng” dan memiliki keunikan budaya yang sangat khas. Terletak sekitar 150 kilometer dari Kota Pontianak, Singkawang merupakan rumah bagi masyarakat multietnis, terutama etnis Tionghoa, Dayak, dan Melayu. Perpaduan budaya yang harmonis ini menjadikan Singkawang sebagai salah satu kota paling toleran dan penuh warna di Indonesia.

Di sinilah, di sebuah kota kecil di pesisir barat Kalimantan, kehidupan bergerak dalam irama yang damai. Singkawang menyambut siapa pun dengan keramahan khas kota yang hidup dalam keberagaman. Di sela gedung-gedung tua berarsitektur kolonial dan bangunan beton masa kini, berdiri kokoh klenteng-klenteng dengan atap berhias naga, berhiaskan warna merah dan emas yang menyala. Mereka tak hanya berdiri sebagai tempat ibadah, tapi juga sebagai penjaga jejak budaya yang tak lekang oleh zaman.

Keunikan Singkawang terletak pada keharmonisan hubungan antar etnis. Meski mayoritas penduduknya adalah keturunan Tionghoa, namun hubungan dengan komunitas Dayak dan Melayu sangat erat. Mereka hidup berdampingan dengan saling menghargai adat, bahasa, dan kepercayaan masing-masing.

Nama “Singkawang” berasal dari bahasa Hakka, yaitu “San Khew Jong” yang berarti “kota di antara gunung dan laut”. Julukan ini mencerminkan letak geografis Singkawang yang diapit oleh pegunungan dan laut. Sejak masa penjajahan Belanda, kota ini menjadi tempat persinggahan para pedagang dan penambang emas dari Tiongkok, khususnya dari etnis Hakka. Mereka kemudian menetap dan membentuk komunitas yang kuat di kawasan ini.

Harmoni Tiga Etnis komunitas Tionghua, Dayak dan Melayu sangat erat.

Masyarakat Singkawang juga dikenal dalam bidang seni, seperti barongsai, kaligrafi Tionghoa, seni ukir kayu, dan tenun tradisional. Beberapa sanggar budaya di kota ini rutin mengadakan pelatihan dan pertunjukan, terutama menjelang hari-hari besar seperti Imlek dan Cap Go Meh.

Dari satu sudut ke sudut lainnya, aroma dupa dan wangi bunga segar sesekali menguar dari altar-altar kecil di pinggir jalan. Warga melintas, sebagian menundukkan kepala, sebagian lainnya hanya menatap tenang—seolah menyatu dalam harmoni yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.

Di pasar tradisional, suasana lebih semarak. Penjual sayur berbicara dalam bahasa Hakka, pembeli membalas dalam logat Melayu Singkawang, dan anak-anak berlarian sambil menyelipkan tawa kecil dalam bahasa Indonesia yang polos. Suatu pemandangan yang biasa di sini: keragaman yang tidak di buat-buat, tidak di perdebatkan, hanya di jalani.

Satu blok dari pasar, klenteng tua berdiri tenang. Warna cat merah yang mulai pudar justru membuatnya tampak lebih hidup seperti wajah tua yang tersenyum dengan bijak. Di pelatarannya, burung pipit berkicau dari pohon bodhi yang rimbun, dan lilin-lilin besar menyala sepanjang hari. Tak jauh dari sana, sebuah masjid berdiri dengan megah, lantunan azan terdengar lembut menjelang tengah hari. Di antara keduanya, sebuah gereja tua berdiri dengan anggun, lengkung jendela kaca patri memantulkan cahaya pagi.

Di kota ini, suara lonceng, suara azan, dan deru barongsai tidak pernah saling bersaing. Mereka hanya saling melengkapi, seperti irama dalam satu lagu lama yang di nyanyikan oleh banyak suara.

Makanan Tradisional

Budaya Singkawang juga tercermin dalam kekayaan kulinernya. Beberapa makanan khas yang patut di coba. Siang hari, aroma masakan mulai mendominasi udara. Warung kecil menawarkan choipan hangat, kue keranjang yang legit, dan mie tiaw sapi dengan aroma menggoda. Di sudut lain, nasi kuning dan ikan asam pedas di tata rapi dalam etalase kaca. Di sini, makanan bukan sekadar kebutuhan, tapi juga cerita tentang siapa yang memasak, dari mana ia berasal, dan warisan budaya apa yang di bawanya.

Menjelang sore, Singkawang berubah pelan. Langit jingga menyorot atap-atap ruko, dan suara genta dari salah satu klenteng menggema pelan. Anak-anak pulang sekolah dengan seragam yang mulai lusuh, tapi mata mereka tetap menyala penuh semangat. Di lapangan terbuka, pemuda-pemudi berlatih barongsai, sementara dari kejauhan terdengar dentingan musik rebana.

Malam di Singkawang tidak terlalu bising. Kota ini lebih suka beristirahat dalam tenang. Tapi di malam-malam tertentu, terutama menjelang perayaan Cap Go Meh, suasana berubah magis. Jalan-jalan di penuhi cahaya lampion, genderang berpadu dengan teriakan penonton, dan dari sudut kota, tatung mulai bersiap. Di tengah keramaian, kota ini seolah berdoa: bukan hanya untuk perlindungan, tetapi juga untuk terus hidup sebagai tempat di mana keberagaman bukan masalah melainkan alasan untuk bersyukur.

Di Singkawang, hidup berjalan dalam nada-nada berbeda, tapi semua bergerak menuju satu arah: kedamaian.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *